Polemik Sampah di Magetan: Krisis yang Tak Lagi Bisa Disapu ke Pinggir Jalan

Tag: , , , , ,

OPINI 

Oleh : Sukamto

Magetan – Nusativi.com — Isu sampah kini bukan lagi sekadar persoalan kebersihan, melainkan cermin tata kelola lingkungan dan keseriusan pemerintah daerah dalam menata wajah kotanya. Kabupaten Magetan, yang selama ini dikenal dengan keasrian dan udara sejuknya, kini dihadapkan pada persoalan klasik: sampah yang menumpuk, pengelolaan yang setengah hati, dan kesadaran masyarakat yang masih rendah.

Setiap pagi, pemandangan tumpukan sampah di pinggir jalan, dekat pasar, bahkan di sudut-sudut perkampungan, seolah menjadi hal yang “biasa”. Padahal di balik itu ada persoalan serius: minimnya fasilitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA), keterbatasan armada pengangkut, dan lemahnya sistem pemilahan sejak dari sumber.

Ironisnya, setiap tahun volume sampah terus meningkat, namun pola penanganannya nyaris tidak berubah. Pemerintah sering beralasan pada keterbatasan anggaran, sementara masyarakat merasa urusan sampah bukan tanggung jawab pribadi. Akibatnya, kita hidup dalam lingkaran saling menyalahkan: antara warga yang tidak disiplin dan pemerintah yang tidak tegas.

– Sampah Bukan Sekadar Bau dan Kotor

Sampah adalah simbol peradaban. Daerah yang bersih mencerminkan pemerintah yang tertib dan warga yang beradab. Jika Magetan ingin menegaskan diri sebagai kabupaten wisata yang asri, maka pengelolaan sampah harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar program tahunan.

Namun yang terjadi, pengelolaan sampah seringkali reaktif, bukan preventif. Saat tumpukan mulai viral di media sosial, barulah truk kebersihan dikerahkan. Tidak ada kebijakan jangka panjang yang menekan sumber masalah — misalnya edukasi pemilahan sampah rumah tangga, pemberdayaan bank sampah, atau sistem sanksi bagi pembuang sampah sembarangan.

– Krisis Sistemik, Bukan Sekadar Tumpukan

Masalah sampah di Magetan sejatinya bukan hanya teknis, tapi struktural dan budaya.

Struktural karena minimnya infrastruktur pengelolaan dan lemahnya koordinasi antar dinas.

Budaya karena masih banyak warga yang menganggap buang sampah sembarangan adalah hal kecil.

Padahal, di balik satu plastik yang dibuang, tersimpan konsekuensi panjang: pencemaran air, gangguan kesehatan, dan rusaknya citra kota.

– Saatnya Pemerintah Tidak Hanya Menyapu, Tapi Menata

Kita membutuhkan kebijakan revolusioner, bukan sekadar seremonial bersih-bersih.
Kebijakan yang melibatkan semua elemen: sekolah, pasar, komunitas lingkungan, hingga pengusaha. Pemerintah daerah harus berani menetapkan:

Regulasi tegas bagi pelaku usaha dan warga yang abai.

Dukungan dana dan fasilitas bagi inovasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Transparansi dan kolaborasi lintas sektor, bukan hanya bergantung pada Dinas Lingkungan Hidup semata.

Magetan tidak bisa menunggu “kesadaran tumbuh sendiri”. Kesadaran harus dibentuk melalui aturan, edukasi, dan keteladanan.

Dari polemik yang terjadi dapat disimpulkan bahwa saat ini kita tengah menghadapi “Krisis Gerakan”.

Polemik sampah di Magetan seharusnya menjadi momentum refleksi bersama — bukan sekadar mencari siapa yang salah, tapi bagaimana semua pihak bisa berubah.
Karena sejatinya, Magetan yang bersih bukan hanya tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup semata, tapi tanggung jawab setiap warga yang ingin hidup sehat dan beradab.

Kita tidak bisa terus menyapu masalah ini ke pinggir jalan. Sebab, pada akhirnya, sampah yang kita abaikan hari ini akan menjadi cermin masa depan yang kotor.

Polemik sampah di Magetan kini berada di persimpangan antara kesadaran publik dan kapasitas pemerintah. Jika tidak segera ditangani dengan pendekatan sistemik, bukan tidak mungkin Magetan yang dikenal bersih dan asri akan kehilangan citra lingkungannya.